Rindu Kabut

11:35 0 Comments A+ a-

Saya bukannya acuh tak acuh dengan berbagai macam berita dan situasi yg bersliweran. Tiap pagi beberapa tajuk di koran masih menjadi sarapan,dari yg adem sampai yg bikin panas ati (kebanyakan kabar yang menerangkan bahwa cuma sedikit bertambahnya mutu hidup kita dan seolah kian hari orang jahat makin banyak) begitupula kilasan di televisi. Itu masih belum ditambah dengan bermacam kicauan di medsos.  Yang pihak sana menuduh yang sini, giliran juga sini mengklaim lebih benar dan menuduh yang sana salah , pendukung di belakang berteriak pula. Intinya, dunia sekitar kita saat ini TAMBAH RIUH.
Di tengah keriuhan itu kita berada sekaligus terlibat.
Seorang teman dari istri saya yg cukup jarang terdengar kabarnya , tiba-tiba dikabarkan mendapat bully masal di facebook hanya gara berkomentar tentang demo kapan hari. Dia bukan warga jakarta dan hanya melihat dari sudut pandang sebagai seorang pekerja dan seorang anak yg mencari nafkah jauh dari orang tuanya. Saya tidak ingin menimpali lebih jauh dan terus terang sudah amat tidak tertarik dgn namanya facebook. 
Begitu banyak keriuhan di sana yg porsi bermutunya semakin sedikit dan ramai individu2 haus pengakuan dgn berkomentar yg lolos filter. 
Yang saya tahu kita hanya bisa membuat hidup ini semakin baik dgn karya nyata dan tingkah pribadi di keseharian, bukan banyak2an status. Saya pernah alay di medsos dan cukup malu dgn Pencipta saya(dan diri sendiri tentunya). Oleh karena itu kenapa saya menghapus beberapa medsos dan sering beberapa waktu menghilang dahulu utk menjauhkan diri dari keriuhan. Saya bukan penonton medsos tapi pelaku kehidupan, itu kodrat lho.
Krisis MALU, itulah kita sekarang ini. Arus informasi lintas jaringan tidak saja riuh tapi juga mengikis budaya malu. Banyak kabar, contoh dan komentar tidak sedap bersliweran. Hal itu semakin menjadi jamak dan biasa karena disajikan tiap hari dimana2 seolah itulah kita semestinya dan mari ambil bagian juga. Banyak orang sudah bangga dengan kenakalannya, tidak malu akan dosa2nya dan sembarang bertingkah laku serta berucap, mau minta rahmat Tuhan yang mana?.. 
Selama malu tak hadir niscaya taubat takkan pernah diterima dan kehidupan hanya menuju hari buruk dengan ramai2 menyambut kiamat. Duh semoga saya dibimbing Tuhan dlm mengasuh anak2 saya menuju masa depannya.
Mari kita tinggalkan saja sejenak keriuhan ini, karena saya mulai rindu menghirup pucuk pinus di kesunyian.
Seperti biasa hari kamis siang, beranjak mendung menjadi pilihan. Lereng gunung butak saya tuju untuk melepaskan diri sejenak. 


Ngos-ngosan asli. Di warung terakhir sebelum pertigaan dekat bedengan saya menitipkan motor. Kemudian berjalan meniti terjalnya makadam yg dihiasi butiran gerimis. Di atas sini cuaca mendung berangin tapi tak mengurangi keringat di tubuh yg membanjir.  Ternyata tanjakan yg dulunya seperti tak seberapa dgn menuntun sepeda lha kok terasa lebih kejam dengan berjalan kaki dan membawa ransel saja.
Saya cuma menyarankan diri utk mengurangi merokok. Hehehe


Ditengah perjalanan saya sempat bertemu mbah yg membawa sepikul rumput, sambil tertawa menyapa saya " Lho mas, datang lagi"..
Saya jawab " eh iya mbah".
Padahal saya terakhir kemari 2 tahunan yang lalu. Dan menurut saya mbah tersebut masih awas matanya, entahlah.
Benar atau tidak, tapi saya sempat mencium semacam aroma dupa di sepanjang jalur masuk hingga pertengahan menuju pondokan.
Yap, saya hendak nyangkruk di pondokan.

Menuju pondokan, saya menemui ada pondokan baru milik perhutani yg merupakan tempat inap para penyadap getah. Saya ga mampir, memilih lanjut walau sempat melihat ada seseorang di pondokan.

Baru beberapa ratus meter, cuaca dari yg bersahabat tiba-tiba turun kabut. Duh rasanya memori banget. Saya berjalan pelan- pelan saja


Lha kok ndilalah dalam hitungan menit suasananya makin mirip film 'THE MIST'. Kabutnya tebel banget dan hutannya tambah rimbun. Jarak pandang makin terbatas dan orientasi arah mulai kabur. 
Situasi berkabut semacam ini saya memilih diam di tempat dan buka tenda bila ada rencana kemping atau di area 'point no return' di batas vegetasi, ga tahu kalau pendaki lain.
Berhubung cuma acara golek keringet, saya memilih putar balik ke pondokan perhutani aja. Insting sih




Bukannya gimana walau saya demen sama kabut, saya rada parno jalan di tengah kabut tebal di tengah hutan tanpa bisa memandang sekitar, tiba-tiba ada yg nepuk bahu sambil berkata "mas, melok.."
hakakakakakaka. Walau saya kira2 pondokan yg saya tuju tak jauh lagi tapi setelah 2 tahunan pastilah banyak yg tidak seperti dulu.
Sempet2nya saya duduk dan berfoto itu karena kehausan.

Di pondokan perhutani ini saya bertemu pak Yusuf dan 2 orang bapak lainnya. Pertama kali menyapa terdengar bahasa Indonesia dgn logat bandungan yg banyak dibumbui kata 'mah'.. spt 'kita orang mah apa atuh"(ngasal). Ternyata bapak2 penyadap getah ini berasal dari brebes jawa tengah. Lho kok jauh..hehehe.
Saat mau buka kompor bikin kopi lha kok baru nyadar ga bawa gelas dan sendok. Akhirnya malah diberi air panas pak Yusuf sekaligus dipinjemi gelas. 
Nah tuh benerkan insting saya tadi milih puter balik, coba lanjut ke pondokan mau bikin kopi pakai apa. Belum mesti sampai pondokan juga itu kalo ga kesasar duluan ditelan kabut cinta.
Jadilah saya ngobrol kesana kemari sama bapak2nya, dan hujan mulai deras ketika kabut mulai menyingkir. Pemandangan pun mulai terlihat.
 Setelah situasi semakin membaik, saya berpamit meneruskan kembali ke pondokan tujuan.


Ternyata jalurnya makin rimbun dan begitu sampai pondokan nasibnya tidak terawat. Coba tadi nekat nembus kabut, sampai sini mau gimana coba. Alhamdulillah

Sedikit kecewa di pondokan tapi setidaknya sudah keturutan sampai tujuan. Saya bergegas balik, hari sudah mulai sore menjelang pukul 4 lebih dan kabut mulai turun lagi.

Ada seseorang petani lokal yg menunjukkan jalur turun yg tidak biasa, dan meski waktu saya tak banyak tetap saya coba, hehehe panggilan hati.




Jalur turun yg berbeda memberi sensasi pemandangan yg berbeda pula.


Dan penutup ala alay dgn tanda piss mohon dimaafkan, ehehehe.  
Berbagai macam perasaan berjalan di tengah kabut dan tanah basah. Intinya diri perlu keseimbangan antara keriuhan dan sesekali kesunyian utk meredakan berbagai macam hiruk pikuk hal yg memenuhi pikiran. Seperti kopi yg didiamkan sejenak menunggu ampasnya mengendap utk dinikmati.
Alhamdulillah.