Hari dimana Kita bermain hingga Lupa Diri, Lupa Waktu, Lupa Segalanya

18:43 0 Comments A+ a-

Sebuah masa yang tak akan pernah terulang kembali










Sudah siapkah kita mengakhiri semua ini dengan baik ? .....

Night Ride

13:32 0 Comments A+ a-

Hujan baru berhenti dan jalanan mulai agak sepi. Malam sepertinya mengajak untuk ditelusuri sejenak. 
Tak ada waktu dan niat sebagus ini, keluarkan tunggangan tunggu apa lagi.

Dari kawasan pasar besar hingga gorengan di jalan kauman. Kota ini selalu menarik kala banyak orang sudah berangkat tidur.







Merenung di Putuk Lesung

12:55 20 Comments A+ a-

Tidak mudah membawa beban mendaki jalur pegunungan, lebih sulit lagi bila itu beban pikiran. Rute yg menguras oli dengkul ditambah bawaan di punggung seolah makin terjal saja manakala dalam diri juga terasa sedang menyeret sesuatu.  
Perjalanan fisik yg sepertinya hampir batal karena tak adanya rekan, akhirnya nekad saya lakoni sendiri. Menyadari dgn kepepet, saya butuh waktu bersendiri di tempat yg tenang dan berdialog dgn batin. Biasanya hasil akhirnya yg saya butuhkan berupa doa dan beberapa tekad utk dijalankan kemudian hari. Pertanda awal kapan waktu 'nglayap' tiba adalah saat saya merasa diri sudah mulai banyak merengut, kurang tertawa, kurang tulus dalam hati dan ibadah mulai ada rasa ogah. Waktunya bersih2 detok 'racun' akibat polusi kehidupan, hehe.
Jadi inilah sekelumit perjalanan  membawa beban tersebut utk direnungkan dan dilepaskan di tempat yg benar.
Rute yg saya pilih adalah mengunjungi jalur pendakian Gunung Arjuno via Purwosari.
Sudah ada spot yg saya pilih utk disinggahi sebelum berangkat ini, jadi tak ada itu rencana asal jalan saja.
Sekitar setengah 8 meluncur ke purwosari.

Sekitar jam 9 saya sudah tiba di purwosari, kemudian mengisi perbekalan dulu di minimarket terdekat, dilanjut menuju dusun Tambak Watu.
Pertigaan hendak ke tambak watu bisa menembus kebun teh juga, sekitar kurang lebih 5km dari spot ini. 
Tan hana dharma Mangrwa artinya Tiada Kebenaran Yang Mendua.

Kabar dari pos perijinan hanyalah sedang sepi pendaki. Kelar nyuwun sewu di pos, langsung meluncur menghadapi rute berbatu terjal di tengah hutan pinus bersanding kebun kopi.
Tak ada wujud yg saya temui sepanjang menuju pos 1. Pelan-pelan menghirup bau tanah yg begitu khas dalam kerinduan dan  keringatpun mulai menetes di sekujur tubuh.
Di sini batin sudah mulai rada ayem.

Bertolak belakang dgn kondisi kemari, di pos 1 Goa Anta Boega malah terlihat ramai. Ada beberapa orang sedang bersih2, dan berdiri tenda militer.
Ternyata sedang acara Divisi 2 Kostrad, tertulis di spanduk 'Selamat datang panglima ... '.
Saya hanya melewati pos 1, sambil melirik beberapa bekas2 yg ditinggalkan peziarah.
Goa Anta Boega sendiri merupakan lokasi yg sejuk dan rindang sekali.

Setelah melewati jalur yg rindang sebelumnya, menuju pos 2 mulai bertemu  beberapa area terbuka. Sinar mentari yg hangat menerobos celah dedaunan membawa semangat kehidupan berbagi.

Jalur di sini memiliki banyak percabangan, beberapa memang akhirnya ketemu, beberapa juga bisa menyesatkan bila salah pilih. Cukupkan diri dulu dgn pengetahuan medan sebelum memutuskan nglayap sendirian.
Di tanjakan yg lebih kejam menuju pos dua, hampir separuh pikiran2 yg saya bawa dari bawah mulai berangsur2 hilang.
Punggung mulai pegal, kaki mulai rada cenut2, namun pikiran agak lega, batin agak lapang. Fokus beralih menikmati jalan gunung dan mawas memilih jalur.
Saya mulai mendengar beberapa bincang suara di atas. Ketemulah akhirnya ternyata banyak sekali tentara2 kita yg sedang turun.
Berpadu mata dan sesekali menyapa, tentu saja saya yg memulai duluan. Melihat wajah2 kelelahan menimbulkan kesadaran itu.

Suprise, di pinggir jalan menuju pos 2 ada ibu2 dan beberapa anaknya sedang berjualan nasi.
Wah kebetulan pikir saya, nempil satu sekaligus teh angetnya. Isi bungkusannya nasi goreng mas.
Harganya memang mahal, tapi perlu diingat untuk membawanya kemari tentulah tak mudah bagi ibu dan anak2nya tersebut. Saya merasa sudah sepantasnya.
Salut untuk perjuangannya, serta kepandaiannya memanfaatkan peluang. Ibu2 yg perkasa menurut saya.


Pos 2, Tampuono.
Ramai sekali, lebih ramai dibanding pos 1. Di sini banyak tentara sedang mengambil istirahat. Ada yg sedang menyantap mie, minum teh, ngobrol2, rokokan, jigang berbagai posisi ,dll.
Sayapun berkeliling sebentar. Bermacam2 komentar maupun pertanyaan yg saya terima dari mas dan bapak2 tentara ini.
" Sendirian saja mas? .. endi kancane/rewange(mana temannya)".

Ada juga " Wuih hebat sendirian saja ... (sambil geleng2 kepala)".
Lalu " wah enakan di rumah saja mas, tidur..."
Saya balas dgn tersenyum saja yg demikian. Tapi ada satu komentar yg cukup menghentak dari salah satu tentara ketika saya menaiki tangga pos Tampuono.

" Ati2 mas, jangan  naik sendirian, nanti hilang di arjuno, sudah turun saja"..

Cukup susah payah saya melawan berbagai fakta serta mitos mistis dan wingit tentang jalur ini. Apa dikira saya tak tahu bahwa di tangga tampuono ini pernah ada seorang pendaki meninggal. Kemudian kabar beberapa pendaki tersesat dan yg hilang. Berhasil mengatasi itu di pikiran masih separuhnya saja, tak akan mudah begitu menginjak langsung sepanjang jalur ini yg di penuhi dgn tempat2 dan berbagai jejak ritual. Dari pos ke pos , wangi dupa tercium semerbak, masih ditambah pula berbagai aneka taburan bunga berupa rupa. Kita seolah sedang dibawa dekat dgn suasana gunung kawi, bedanya di sini lebih sepi.
Jadi komentar bapak tentara ini seolah makjleb pakai 'banget', hehehe.

Nasib baik bahwa warung2 di pos ini pada buka dan ramai oleh tentara dan pengunjung yg sedang lelaku. Tak begitu terasa nuansa mistisnya.
Beberapa mitos mengatakan jangan mendaki dgn jumlah ganjil, jangan memakai warna tertentu. Saya memang sendirian, tapi ada Gusti Allah yg saya mantapkan menemani langkah saya kemanapun termasuk tempat wingit ini. Jadi sejatinya saya tak sendiri.
Kemaripun hati berdoa meminta ijin dan keselamatan dari-Nya
Spot yg saya tuju adalah putuk lesung, itu tujuannya kemari.
Dari tampuono menuju putuk lesung dan gumandar adalah jalur yg tersulit. Menyesal saya pernah membaca seorang pendaki yg digarapi beberapa penampakan di siang bolong, itu yg sering pakai putih dan yg disebut mbak kun.. 
Hutan penghubung ke putuk lesung ini sebenarnya tak terlalu panjang, namun kesan mencekamnya yg membuat melewatinya terasa lama. Sendirian pula.
Vegetasinya rapat, lembab dan berlumut. Dipenuhi jalar, ranting yg lapuk dan beberapa tebing yg agak gelap. Khas hutan hujan.
Akan semakin semriwing bila pikiran dipenuhi macam2. Berbagai ayat suci saya baca.
Mau tak mau ya dilahaplah, beginilah seni dan nikmatnya naik gunung. Hehehe
Dan harga yg dibayar mahal utk melewati hutan tersebut sebanding dgn yg didapat, Percayalah.


Saya melangkahkan kaki dgn santai setelah seperti ikut lomba jalan cepat sebelumnya. Kangen juga dgn pemandangan ini setelah agak lama.

Inilah spot itu. Tempat yg dirindukan banyak pendaki, ramai di akhir minggu, dan meriah kala tujuhbelasan.

 Ada pendaki lain yg saya temui sedang menikmati suasana. Mereka bertiga, dua lainnya sedang tidur di alam pondok. Mereka dari hari senin dan rencana turun di hari selasa.
Tahukah bahwa mas2 ini tidak ke puncak, cuma kepingin ngopi2 di pondok ini saja, persis kaya saya.
Suasana di pondok ini memang sangatlah mewah, istimewa. Tak ada duanya kawan
Jangan sampai membiarkan dirimu tak mengetahui bahwa terdekat kita ada keindahan yg begitu alami ciptaan Tuhan yg Maha Agung


Berada di sini hanya akan membuatmu merasakan kedekatan dgn kebesaran Tuhanmu.
Penatmu seolah diangkat, gelisahmu dimengerti, galaumu dipahami, dan batinmu ditentramkan.
Nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?
Tak ada wahai Tuhanku yg Maha Besar.


Kenapa Indonesia? karena kita memang yg terpilih utk menjaga negeri yg indah ini, walau tak semua sadar akan hal itu.
Melihat sang merah putih berkibar seperti melihat negeri kita yg sejahtera dan damai , negeri yg diperjuangkan demi kita generasi sekarang dan berikutnya.
Tuhan tak pernah salah memberi kelahiran kita di sini.

Saya bersinggah di gubuk sejenak menuntaskan sholat dan berakrab dgn mas2nya, kemudian lanjut naik sedikit lagi.
17 tahun hidup di atas gunung? mampirlah ke rumah gubuk tersebut. Seorang bapak yg menolak di foto, hidup lelaku seadanya di tengah pegunungan ini.
Bapak ini terakhir turun 17 hari yg lalu, dan melanjutkan kesehariannya di sini kembali.
Saya berkesempatan singgah, bercengkrama sebentar.
Sebuah pelajaran bahwa dgn membatasi keinginan, memperbesar kemampuan dgn hidup seadanya di alam ternyata manusia amatlah mampu.
Hujan tak pelit membagi curahnya, tanaman juga tak menyembunyikan daun2nya.
Saya melihat wajah yg begitu damai di gubuk ini. 
"pemandange apik mas nek bengi (pemandangannya bagus saat malam) " kata bapak tersebut.
Dari gubuk ini memandang ke depan adalah horison, dan  alam yg terbentang luas.
Beberapa pendaki yg mampir memberikan bekalnya kemari, namun tak semua pendaki diterima kata sang bapak.





Saya melanjutkan mencari lokasi yg pas buat bongkar muat , menyendiri dan menikmati suasana. Sudah bertemu beberapa lokasi , sayang angin cukup kencang dan tidak memenuhi utk membuka kompor.



Dapatlah lokasi yg pas, dibalik bebatuan dan rerimbunan tanaman. Cukup utk berselonjor ataupun bersila sambil memandang ke segala penjuru.
Menu kali ini nasi goreng tadi disandingkan dgn sekoteng. Alhamdulillah

Sudah sampai sini rasanya plong. Syukur tak henti2
Mengingat kembali fitrah diri, mengingat anak istri, orang tua dan kerabat terdekat, salah satu renungan yang saya ingat " apa saya sudah menjadi yg terbaik bagi mereka?..."
Alasan apa hingga sejauh ini Tuhan melangkahkan kaki saya...

Saya sudah lama cocok dgn kegiatan dan tempat dgn suasana seperti ini utk berdialog dgn diri. Ibarat orang kencan tidak di tempat itu2 saja, dan memang ada lokasi2 khusus yg bisa mendukung sekali. Meditasi di rumah dgn berada di alam langsung pasti akan beda sekali.
Bagaimana dengan anda?

Bersepeda memang bisa mengantar kita kemana saja, namun utk yg seperti ini, keheningan yg mendekati murni , kita benar2 membutuhkan kedua kaki utk mengunjunginya.

Awan mendung sepertinya mulai tiba, hari menjelang ashar. Bergegas turun sebelum curah itu benar2 terjadi.

Ashar , kaki sudah menjejak kembali di pos perijinan. Ngebut? tidak juga, saya hanya memilih tidak beristirahat lama2.
 Sekedar info saja, bahwa dusun tambak watu ini sangatlah sedap di mata dan hati. Hawanya tentrem dan guyub, khas desa pelosok pegunungan.
Coba masuk Malang mungkin bisa maksimal menjadi desa wisata.
Bila anda gemar menanjak dalam bersepeda, cobalah mampir kemari. Insya Allah suka.
Jalannya cukup mulus, ada sekitar 25% yg rusak tak terlampau parah,
Tapi yg saya ingin tonjolkan adalah suasana sepanjang saya melintasi desa ini, sungguh nyaman di hati.
Cobalah.


Pulangnya saya sengaja mengambil jalan yg berbeda dgn keberangkatan.

Biarlah foto yg berbicara.


"Feeling LOW ?... 
" Go on mountains." 
Tak ada lagi yg bisa saya ceritakan, Terima kasih sudah mampir