Tumpang Gemilang

15:48 4 Comments A+ a-

Bersama 2 teman lainnya, muter2 kali ini mengunjungi destinasi yg masih belum ramai terberitakan.  Akibat hal itu pula rute berangkat yg semestinya mudah malah dipersulit sendiri, hehe.
Dari rumah saya sudah bawa corat coret, meski begitu eksekusinya tak seindah imagi. Hanya utk menuju tumpang saja kami muter2 dulu di sekitar buring akibat saya salah gambaran.
Oh ya, sebenarnya ada 4 org yg akan berangkat, ternyata salah satu rekan berhalangan karena ada saudara jauh2 datang dari Kalimantan, alhasil cuma Wewo, Hadyan Rocker dan saya sendiri.
 Kebetulan cuaca sedang cerah. Foto flashback ini menampilkan langit yg sedang riang setelah malam hingga dini hari menangis tanpa henti.
Rute paling menggemaskan adalah melewati areal persawahan yg super becek. Ban yg sudah mendonat sedemikian rupa tak pelak menuntun hingga keharibaan jalan selanjutnya.
Dan chainring narrowide itu ternyata tak berdaya menghadapi rantai loss akibat lumpur.
Pada akhirnya rute yg sudah saya gambar nyaris tak berfaedah, kami akhirnya mengurut jalan utama menuju Tumpang.

Setelah rajin bertanya kesana kemari, sampai juga di tujuan utama.

 Embung Malangsuko, danau yg terletak di dusun Malangsuko. Lokasinya tepat 25 meter setelah pom bensin Jeru, kemudian ambil jalan masuk ke kanan. 300 meter akan terlihat gapura embung Malangsuko.
Suasana, cuaca, hawa dan penampakannya sungguh mencengangkan, benar2 gambaran Tumpang yg gemilang. Berikut foto2 embungnya dan beberapa foto ekstra episode:
Tempatnya termasuk sepi utk ukuran hari minggu, kebanyakan yg datang para mancing mania.
Hanya ada 1 warung, itupun tak banyak menunya. Tak ada teh hangat maupun air putih, cuma tersedia minuman instan spt yg slogannya "cuuuurrr itik itik...." itu.
Pesen mie rebus malah mau dibikinkan mie goreng dikasih kuah, aduh mak.



Tempat ini punya posisi yg istimewa, tinggi dan lapang. Pegunungan di barat dan timur leluasa terlihat.



Suatu tempat yg bisalah utk meredakan atau menuntaskan kelelahan akan perjalanan. Enak kok duduk sambil ngobrol ngalor ngidul walau tanpa kehadiran rujak cingur.
Doa saya sih semoga tak banyak dikunjungi para duet maut yg sedang kasmaran.
Nah pulangnya ternyata tak jauh dengan lokasi Sumber Wringin di Wringin Songo. Kita mampir sebentar utk merendam kaki.
Mau cuci sepeda jg sih tapi sungkan karena sedang ramai pengunjung.
Rute pulang langsung mengambil gambaran sesuai petunjuk penduduk sekitar yg ternyata klop dgn rute yg sudah saya gambar. Ya begitulah sekiranya perjalanan Tumpang gemilang ini.
Sebenarnya cukup banyak foto, kapan2 saya unggah lagi.
Semoga membadut, eh membantu.
“Don’t spend your life just by looking at the door, open it and explore the great nature beyond your limit”




Kontemplasi Singkong

16:23 4 Comments A+ a-

Mungkin ada nuansa kalut sehingga saya menyertakan tema 'singkong' dalam tulisan ini.  Sabab musababnya saya hampir lupa kapan terakhir kali makan 'pohong'/ubi kayu dlm wujud aslinya. Keluwesan 'kayu' satu ini menjadikannya bertebaran di sekitar kita dalam bentuk lain seperti gethuk, keripik , dan tape.  
Tak dinyana saya diingatkan kembali akan beberapa hal mengenai singkong oleh Ibu dan Bapak saya, jadi saya akan membahas agak melebar mengenai singkong. Gowesnya mungkin biasa, singkongnya yg menjadikannya luar biasa, hehe.
Singkong seingat saya adalah makanan favorit beberapa orang besar seperti Soekarno, Gita Wiryawan dan satu lagi Chairul Tanjung(anak singkong). Pak Karno bahkan kabarnya selain ubinya juga menyukai daun singkong. 
Bangsa Indonesia jaman perjuangan dulu adalah pemakan singkong,suatu hal yg bukan pilihan melainkan mungkin keniscayaan. Singkong jadi makanan pokok baru kemudian beras.
 Sayangnya jaman sekarang makanan alami, tanpa pengawet dan murah ini makin terpinggirkan karena dalam batas tertentu menjadi tanda status sosial. Semakin 'melip' status seseorang makin jauh dari singkong ,dan yg memakannya dipandang rendah.
Itulah munculnya sebutan 'anak singkong' merujuk anak2 bumiputra dari lawannya 'anak keju' merujuk anak2 belanda di jaman dulu. 
Tak ada yg salah dgn singkong, malahan dia lebih byk mempunyai kandungan bermutu daripada beras.Kandungannya antara lain karbohidrat dan kalori yg tinggi, 2 kali lipat dari kentang. Mineral seperti kalium, seng, magnesium, tembaga dan besi ada di dalamnya, jadi bila ingin jadi Ironman  perlu banyak2 makan singkong.

Menyesal juga saya sempat melupakannya sekian lama. Jadi inilah cerita gowes saya yg berakhir dgn singkong.
Gowes sore hari yg keberapa ini ya? nanti saya ingat2 lagi. Dgn rute masih muter2 pedesaan saya bermaksud mengunjungi salah satu mata air yg kabare lumayan apik.




Ada info tentang lokasi yg lumayan alami dgn sumber air di daerah sekitar tajinan. Setahu saya hanya ada jenon, jadi ini dimana lagi? ternyata lokasinya agak melipir ke selatan mendekati bululawang.  
Memang betul kabar tsb tentang masih alami dan asli lokasi ini begitu saya tiba. Dgn jalan masuk berupa jembatan bekas rel kereta,, saya mengira2 bahwa tempat ini berumur cukup tua.
Masukpun tidak ada namanya aspal, yg ada hanya makadam dgn turunan menggoda bila dibalik ujungnya. Kanan kiri masih banyak ladang daripada rumah. Hawa segar sudah pasti, sepi dgn lalu lalang orang yg sedikit.
Dan inilah setelah masuk kurang lebih 2km dari jembatan, lokasi mata air Ngembulsari. Entah darimana asalnya nama'ngembul' disematkan. Kalau saya sih ingatnya sama paman gembul di majalah bobo begitu tahu nama tempat ini. 

Aliran mata airnya mengalir dari mulut gua, sedang sumbernya sendiri dekat dgn pemandian wanita .Itulah sebabnya saya tidak punya poto sumbernya langsung karena tak ingin menimbulkan syak wasangka, apalagi saya tiba disini sore waktunya orang mandi.
Sebenanrnya saya ingin mandi juga cuma akhirnya batal karena sungkan dipandangi oleh penduduk sekitar .


Airnya jernih seperti sumber Wendit. Diujungnya ada pipanisasi utk mengalirkan ke rumah2 penduduk. Melihat derasnya aliran meyakinkan saya bahwa debitnya tinggi.
Utk menuju aliran mata air Ngembulsari mesti menuruni jalan setapak yg agak licin dgn jarak yg tidak terlalu jauh. 
Bagaimana dgn pemandangan sekitar ngembulsari atau tepatnya desa randugading? berikut penampakannya.

Inilah namanya 'Ijo royo royo' kata orang jaman dulu. Bau segar tanaman , pepohonan dan hawa pedesaan yg lenggang.
Kelar dari ngembulsari , saya mampir sebentar ke bendungan Tangkilsari.


Ini bendungan dalam pandangan saya mirip seperti candi berumur muda daripada dam. Keliatan kuno dan kokoh, ada bau2 belanda punya nih garapannya.


Suasananya sore di bendungan ini ayem. Gemericik dan kecipak air terdengar ritmis berkawan dgn cuit burung2 yg pulang ke sarang. Hembusan angin yg menerpa wajah serasa membuat tambah sendu senja.
Bila mampir bendungan tangkilsari, inilah sekiranya spot yg paling muaknyus itu. Leluasa melihat sekeliling dan lapang tempatnya. 
Datang dgn memilih waktu yg tepat sangat dianjurkan. Saya sendiri pulang menjelang magrib.
Begitu hari mulai gelap, saya sempat terkesima melihat kesyahduan malam hari di dusun. Jauh dari gambar hiruk pikuk kota yg siang sampai malam hampir tak kunjung berakhir. Lampu2 mulai dinyalakan, ladang2 mulai remang, dan halaman mulai temaram, beberapa keluarga memilih berkumpul di depan rumah. Jalanan mulai lebih sepi dari sebelumyna, dan toko kelontong yg sedikit jumlahnya itu seolah menjadi bangunan paling menarik tempat orang berkunjung.
Sesampai rumah, ternyata ada berkah dari Ibu saya berupa singkong rebus empuk bin meduk.
Bapak saya yg punya kegemaran akan 'pohong', lantas saya diberi utk dinikmati di rumah. Rupa saya mungkin seperti orang sekian abad ga makan saat menikmati singkong ini,  tekstur yg agak kasar namun lebut dan sedikit asin dari taburan garam sukses membuat lidah menjadi kasmaran akan singkong.  Mungkin setelah sekian lama dan kemudian begitu makan lagi kok ya pas singkongnya yg bermutu tinggi, bukan yg bongkeng apalagi ada yg sudah mirip kayu betulan rasanya.
Kelar gowes dgn perut setengah kelaparan, dan masih terkontaminasi hawa pedesaan, ditutup dgn singkong, sungguh 'sesuatu' sekali sodara. Di temani segelas teh manis anget rasanya sudah cukup utk kata ;muaknyuss ala pak bondan.

Martabat singkong mungkin kian terpuruk saat ini diantara makin menjamurnya makanan cepat saji ,ketika singkong sekadar menjadi camilan atau kudapan tambahan dari beras/nasi. Bahkan bagi segolongan orang kota, singkong sekadar nostalgia: mengingat keguyuban di pedesaan. 
Bagi saya, singkong adalah identitas
Pengingat jati diri akan kerendahan hati dan kesederhanaan. Hidup singkong!
Omong2 saya jadi kepingin makan tiwul ........ hehehe