Seli Story : TULUNGAGUNG

Kota kedua sebagai bagian dari cerita bersama seli aka sepedalipat. Setelah perjalanan sebelumnya ke blitar, saya memilih Tulungagung sebagai destinasi selanjutnya. Banyak yang ingin saya kulik lebih dekat kota-kota kecil di jawa timur. Utamanya yang jarang terdengar gaungnya.
Sebenarnya masih ada cerita yang belum saya tulis tentang penjelajahan saya keliling beberapa kota di Jawa Timur dengan berkendaraan.  Selain blitar & tulungagung, masih ada probolinggo, pasuruan, situbondo, jember, lumajang, madiun, pare, kediri dan trenggalek. Itu nanti akan saya tulis di lain waktu, sekarang waktunya' seli story'. Antara menjelajah dengan kendaraan dan bersepeda itu menghadirkan perspektif yang berbeda menurut saya.
Tiket kereta pesanan sudah di tangan dan persiapan sudah dilakukan. Saya pun berangkat ke tulungagung untuk gowes 'short time'. Menikmati waktu luang dengan berkeringat sehat dan berinteraksi lebih dekat dengan kearifan lokal (bahasanya ketinggian mas).


Hari kamis menuju malam jum'at legi. Ketika saya mengira bahwa kereta akan sepi ternyata meleset.
Penumpang cukup padat dengan bawaan yang juga banyak dan besar. Saya mengambil  nomor kursi buncit di gerbong paling buncit pula. Gerbong buncit ini merupakan favorit penumpang yang tanpa kursi dan penumpang dengan tiket 'go show'.



Ada mbak-mbak depan kursi saya yang cukup heboh. Nah rupanya masih ada satu temannya lagi yang mendapat kursi dengan nomor berbeda dan kepinginnya gabung nimbrung dengan kelompoknya. Alhasil makin ramai, ditambah mbak- mbak ini (yang saya taksir sepantaran saya usianya) main tiktok dalam kereta, wuiih .. tambah heboh.
Saya pun menyingkir dari bangku dan memilih menikmati pemandangan dari kaca gerbong belakang dekat toilet.  Ketika saya berdiri, kursi saya langsung ditempati mbak tadi. 
Ya sudahlah, saya pun ngesot di bawah sambil sesekali berdiri menikmati wewangian toilet.

Memasuki blitar, mulai banyak kursi yang kosong dan saya beranjak menempati salah satunya. Masih dekat dengan lokasi sepeda, agar saya pun bisa memantaunya.
Kali ini saya berbincang- bincang dengan ibu-ibu yang membahas masalah anak-anaknya. Menyenangkan memahami sudut pandang seorang ibu dalam memahami kharakter anaknya. Ibu yang memakai baju kotak adalah seorang pensiunan guru, dan ibu ini mempunyai sesuatu yang yang saya sukai yaitu tawanya yang lepas dan riang. Sungguh mencerahkan melihatnya.



Hampir 4 jam perjalanan. Setiba di tulungagung panasnya cukup menusuk kulit dan kering. Meski musim hujan, nyaris tidak tampak ada bekasnya.
Selesai bongkat muat, destinasi paling terdekat dan biasanya memang sering dijadikan patokan adalah alun-alun.
Alun-alun tulungagung tidak lebih luas dari alun-alun malang, namun kelebihannya adalah amat rindang sekali. Sebelas dua belas dengan kebun rojo blitar.
Dipenuhi pengunjung yang hampir semuanya balita beserta orang tuanya. Masih satu lokasi dekat alun-alun ada pendopo, sanggar, perpustakaan dan masjid agung.
Dalam alun - alun ada spot skatepark pula dan ikon air mancur, masih ditambah dengan playground pula. 
Ini merupakan starting point yang bagus untuk para penjelajah.
Warung dengan warna hijau selalu menarik utuk disinggahi, biasanya identik dengan masakan murah, enak, plus rumahan dalam pandangan saya.
10 ribu untuk seporsi nasi campur dan 3 ribu untuk teh manis, hampir sama dengan di kota malang.

Ada sungai besar yang membelah di tengah kota persis. Sungai ini yang bertuliskan 'ngrowo' memiliki jalur pedestrian  dan  beberapa bangku kekinian untuk menikmati pemandangan di sampingnya. 
Itu masih belum termasuk berpuluh kedai kopi di sepanjang jalur dengan berbagi model tematik. Sempat saya dibuat terheran bahwa ternyata tidak kota malang saja yang sedang demam dengan 'kedai kopi ala - ala sekarang'. Namun ada satu yang cukup unik, ketika saya melihat salah satu kedai kopi menggoreng kopinya di depan kedai, lengkap dengan wajan , kompor dan bangku kecil untuk sang penggoreng. Baunya semerbak.
Masih ada lagi skatepark yang disisipkan di salah satu tikungan sungai.  
Dari ujung ke ujung, sungai ini bisa dijadikan rute gowes yang menarik bila mengunjungi tulungagung karena saking panjangnya. Kategorinya mungkin masuk ' rodo gempor' (lumayan bikin kesel)
Di salah satu lokasi dekat sungai ini, ada satu toko sepeda yang cukup terkenal gaungnya di kalangan pecinta downhill dan aliran eskrim (baca ekstrim), yaitu Gun Gun bike.
Ndak mampir saya, daripada tergoda sesuatu, haha.

Terus menyusuri jalur terdekat sungai, saya bertemu kelenteng dengan penampakan yang amat menarik.
Sempat ragu karena ketika mau minta ijin masuk tidak terlihat penjaga.
Akhirnya saya beranikan diri masuk, kalau diusir ya pergi.
Ternyata pak penjaga sedang istirahat ketika saya menemukannya di dalam, kena masuk angin cerita sang istri.
Ada sanggar/aula yang amat besar yang masih satu komplek dengan kelenteng, biasanya di jadikan latihan wushu dan kegiatan yang berkaitan.
Info saja, ketika memasuki kelenteng ini , saya merasakan gatal -gatal yang tidak biasa di badan dan seketika lenyap ketika saya minggat. 


Cuaca beranjak mendung samar-samar. Sejenak duduk di gasebo dekat sungai dan berbagi hisapan dengan bapak tua.
Di temani sang istri, mereka bercerita berdua berasal dari trenggalek, dan sebagai pengumpul rosok (pemulung) di tulungagung.
Semilir angin dan suasana kota yang lenggang menambah kekhusukan cerita menuju senja itu.
Kota ini dipenuhi  jejak-jejak kota tua yang terpelihara dengan amat baik dan banyak yang masih difungsikan hingga kini. Tidak banyak yang saya rekam dalam kamera karena terlampau asyik menikmati.
Saya mungkin bisa bergulung-gulung di tengah jalan  di beberapa titik  yang hitungan kendaraannya bisa dihitung dengan jari.


Yang mungkin menarik adalah ketika kesini saya belum menemukan satupun mall dan bentor (becak motor), entah kalau keselip.
Aura kotanya terasa positif untuk menghilangkan penat yang terbiasa dengan kemacetan.

Ketika saya mendengar dari penduduk lokal, masih ada cukup banyak yang bisa digali dan diinteraksi lebih jauh dari tulungagung,  yang saya yakin tidak akan cukup ditulis dalam satu cerita. Mungkin bisa saya ceritakan lagi nanti bila ada waktu kedua, insya Allah.

Turun Pedal : Menuju Blitar dengan Sepeda Lipat via Kereta Ekonomi

Setelah sekian lama vakum dari dunia 'mancal' dan sekaligus blog ini yang mati suri, akhirnya saya kembali turun pedal dalam dunia 'perdengkulan' dan ya alhamdulillah.. nulis cerita lagi. 
Alih - alih bereuni dengan MTB, ataupun pasukan hobi downhill, justru saya kembali dengan sepeda lipat. Dan jujur saja saya amat 'nol ' disegmen ini, hehehe.
Keinginan bersepeda kembali muncul karena beberapa alasan, namun utamanya alasan kesehatan. Benar saya terkadang kangen melihat orang- orang lalu lalang bersepeda, nge-klub, dan semacamnya. Namun itu saja belum mendorong niat untuk membeli sepeda. Aktifitas olahraga jalan dan lari yang saya lakukan terasa masih belum cukup mewadahi kebutuhan jasmani. Disitu akhirnya muncul niatan mengadopsi sepeda kembali, dan sebenarnya masih belum terpikir jenis sepedanya.

Suatu hari saya menghubungi sahabat saya Cak Arief di Blitar untuk bagaimana kalau kami gowes bersama di sana. Di pikiran saya waktu itu adalah menyewa sepeda di sana dan berangkat pulang pergi tetap berkendaraan.
Acara itu baru tahap pembahasan, namun dari situ saya mulai memikirkan ide tentang sepeda pribadi yang mengakomodir keperluan olahraga dan mampu di bawah klayapan jauh dengan ke-ribet-an seminim mungkin. Inilah yang mengantarkan saya dalam pertemuan saya dengan sepeda lipat.

Dalam tempo yang cukup singkat saya berusaha mempelajari aspek dari sepeda model lipat ini, terutama harganya.. hahaha. Pengalaman di masa lalu dengan MTB beserta racun-racunnya membuat saya lumayan tawar dengan besaran keinginan dibanding kebutuhan. Maka surveypun dilakukan dan akhirnya terpinanglah satu sepeda produksi lokal. Inipun sebenarnya sudah melampaui batas bujet awal  yang cuma 1,5 jt untuk mengadopsi sepeda lipat ( Yap anda tidak salah baca, 1,5 juta bukan 15 juta ). Tapi ada poin yang lumayan penting yang akhirnya menjadi alasan utama untuk sedikit menaikkan bujet, yaitu frame.
Karena ada rencana bahwa sepeda akan sering saya angkat dan gotong plus naik kereta, maka tentu ada bobot yang perlu diperhitungkan.
Dengan 1,5 juta hanya tersedia fitur frame besi, dan saya belum berniat untuk merambah ke olahraga angkat besi segala. Terpaksa menaikkan bujet sedikit untuk mendapatkan sepeda dengan frame alloy. Mungkin akan banyak yang kelak saya ceritakan dengan sepeda lipat ini.

Adaptasi pertama saya dengan seli berjalan lancar, walau sedikit kikuk dengan handlebar yang pendek, masih terbawa kebiasaan yang lama dengan handlebar panjang yang mirip setang becak. Dan yang paling terasa mungkin .. hm apa ya sebutannnya, .. daya rengkuhan dalam sekali pancal amat berbeda dengan MTB. Dengan ban berdiameter besar 26 inci, MTB dalam sekali kayuh bisa terasa jarak dan kecepatannya. Di seli, awal- awal saya merasa ini sudah mancal banyak kok masih terasa pendek - pendek saja tempuhannya, haha. Perlu membiasakan.

Tak butuh waktu lama, dalam jarak semingguan dari pembelian, sepeda ini saya rencanakan dan realisasikan untuk dibawa gowes di blitar, dengan perjalanan via kereta api tentunya.

Ini merupakan pengalaman pertama dan baru bagi saya. Sudah saya siapkan diri dengan hal-hal yang mungkin terjadi di luar perkiraan saya. Untuk tips dan poin membawa sepeda lipat dengan kereta api ekonomi akan saya bahas tersendiri di akhir.
Mengambil kereta ekonomi pagi jam 7:30, perjalanan menuju blitar memakan waktu kurang lebih dua setengah jam.


Dari stasiun, saya meluncur ke penginapan yang saya pesan sehari sebelumnya. Ternyata waktu cek in baru bisa diambil di atas jam 12.
Saya putuskan keliling sebentar isi perut dengan sop ayam.
Semangkuk penuh sop ayam dengan segelas teh terbayar dengan cukup 10ribu. Kemurahan ini amat menggoda untuk banyak berkuliner.
Selesai makan, masih cukup lama menuju waktu cek in. Saya putuskan untuk mulai keliling etape pertama. Mengambil jalur dari stasiun kereta menuju ke selatan lurus terus.

Cukup panjang sampai saya menemukan gapura perbatasan blitar -tulungagung. Perbatasan ini ditandai pula dengan bukit kapur di sebelah kiri jalan. DI bawah cuaca terik , saya putuskan melihat map untuk rute selanjutnya. Terdekat tampak gambar biru besar yang seringnya menandakan adanya lokasi telaga. Yuk kita lanjutkan.


Perkiraan dan gambar map menunjukkan bahwa lokasi tertuju sudah saya lalui, namun tak jua telaga penyejuk hati tampak di mata. Saya yang kesasar atau bagaimana.
Lokasi dan kordinat sudah pas, ternyata gambar yang kira telaga itu pada wujud aslinya adalah hamparan sawah hijau yang amat luas sekali.
Ya lumayanlah mendinginkan mata.
Namun dengkul dan kulit terasa melepuh, lumayan jauh ternyata saya 'nylentang ' dari blitar ke pinggiran tulungagung ini.
Saya putuskan menuju penginapan.


Sepanjang jalur dari arah tulungagung menuju blitar , saya menemukan ada sekitar 2-3 papan bertuliskan 'tambangan 24 jam'. 
Tambangan semacam rakit yang ditarik menggunakan tali untuk menyebrangi sungai. Luasnya cukup untuk mengangkut banyak sepeda motor dan 1 mobil.
Tambang ini banyak dipakai karena merupakan salah satu jalur bypas (potong kompas).
Dengan menggunakan tambangan, saya tak perlu memutar jauh kembali sampai gapura perbatasan, langsung diseberang sudah masuk wilayah blitar kembali.
Praktis dan efisien untuk harga 2ribu rupiah.
Sampai di penginapan sudah menunjuk hampir pukul 2 siang. Cek in, mandi dan ngowos ( baca'tidur')
Menjelang pukul 4 , saya memutuskan gowes etape 2 keliling kota blitar. Destinasi pertama adalah pasar templek, yang kebetulan dekat dengan penginapan. Pasar ini mungkin semacam pasar blimbing bila di malang. Asyiknya adalah suasana pasar ini masih terasa tradisionalnya.

Masih dekat lokasi terdekat yaitu alun - alun blitar. Walau sudha beberapa kali kemari, sensasinya berbeda dengan bergowes ria.


 Selanjutnya adalah kebun Rojo. Bisa dibilang ini kebun binatang mini. Suasananya amat sejuk dan ayem, gratis pula.


Istana Gebang merupakan rumah kediaman Bung Karno. merupakan tempat kedua yang biasanya dikunjungi peziarah sehabis dari makam.
Lokasinya semacam kompleks dan salah satunya adalah sanggar. Saat saya datang kemari, sanggar tersebut sedang dipakai latihan menari tradisional bibit- bibit muda negeri.
Dalam satu komplek berisi bangunan dengan gaya arsitektur kuno.
Senja mulai datang tetiba saya di makam. Namun suasananya terasa semakin meriah, mengingatkan jogja.
Lokasi ini enak benar dipakai salah satu rute gowes sore.
Sebagai penutup etape kedua ini adalah salah satu jalur alternatif menuju Malang, yaitu bendogerit. Lokasi ini banyak dipenuhi hamparan sawah segar.
Hari mulai gelap dan terdengar lantunan sholawat Tarhim. Saya bergegas balik menuju penginapan sebelum magrib
Sebagai penutup hari, malamnya saya masih bertemu Cak Arief dan kemudian nongkrong bersama hingga larut.
Gowes perdana ini cukup memenuhi ekspetasi saya , walau karena jarak yang saya tempuh lumayan mengakibatkan dengkul saya nyut nyutan.
Pagi hari saya sudah memesan tiket kereta penataran menuju malang jam 3.40 pagi.

Akhirnya sampailah pada tips2 yang bisa saya anjurkan untuk rekan -rekan yang berminat membawa sepeda lipat naik kereta api ekonomi. Situasinya sedikit berbeda bila naik kereta eksekutif.

Tips apa saja itu, berikut :

  1.  PT KAI sudah mengeluarkan peraturan resmi terkait sepeda yang boleh dibawa naik kereta api, yaitu sepeda lipat. Namun untuk berjaga-jaga bilamana mungkin ada petugas KAI yang belum terlalu ngeh sosialisasi ini, saya sarankan mendownload gambar ini  dan menyimpannya di HP. Untuk berjaga sewaktu-waktu petugas menanyai, kita bisa menunjukkan gambar tersebut. Tapi sejauh pengalaman saya ini, dari polsuska hingga kondektur semuanya welcome.
  2. Kereta api ekonomi tidak menyediakan bagasi khusus seperti eksekutif. Di sini sejauh pengamatan saya, lokasi yang memungkinkan untuk menaruh sepeda lipat adalah di dekat kursi nomor 1 sampai 3, dan 23 sampai 25. Ada space/ruang untuk menaruh sepeda sehingga tidak menghalangi jalan. Maka bila berencana naik kereta ekonomi, pesanlah nomor kursi kisaran tersebut.
  3. Bila terpaksa tidak bisa mendapat kursi dengan nomor yang saya sebut diatas, opsi lain adalah pesan nomor di gerbong paling belakang. Bagian belakang sendiri ada ruang yang cukup dekat toilet. Bila tidak memungkinkan mendapat opsi yang saya sebutkan diatas, saya sarankan menunda perjalanan atau pilih kereta eksekutif.
  4. Bawa tali. Kereta ekonomi tidaklah seeksklusif kereta eksekutif dan akan banyak lalu lalang orang. Meskipun sepeda dilengkapi magnet, saya masih memakai tali untuk mengikatkan sepeda dengan kaki kursi. Sebisa mungkin sepeda tidak sampai menghalangi pun juga aman terkena goncangan.
  5. Datang lebih awal sangat dianjurkan agar kita bisa memperkirakan dan menata letak sepeda dengan baik.
  6. Dan ini mungkin terdengar kocak, hehe saya tidak menganjurkan naik kereta ekonomi bila anda merasa sepeda anda mahal. Ini kereta ekonomi, jadi bersiaplah untuk beberapa benturan pada sepeda. Saya mengamati fork yang lumayan sering kena. Dari awal memilih harga sepeda  , ini poin yang juga menjadi pemikiran. Akan banyak orang yang juga membawa berbagai barang, dan keputusan membawa sepeda naik kereta tentunya juga perlu pertimbangan tersebut.
  7. Untuk sepeda dengan roda 16 inch sepertinya memungkinkan ditaruh atas, namun lagi- lagi itu terdengar kurang aman. Bilamana sepeda sampai jatuh akan menimpa penumpang lain. Iya kalau yang ketiban berhati mulia, kalau pas titisan minakjinggo, bisa panjang urusannya.
  8. Bila berencana bersama rekan untuk membawa sepeda lipat maka berbagilah lokasi menaruh sepeda. Seperhitungan saya , satu gerbong untuk dua sepeda lipat oke, di ujung dan belakang. Lebih dari itu, ya taruh digerbong selanjutnya.
  9. Rileks saja , banyak senyum, dan nikmati perjalanannya.
itulah tips yang bisa saya bagikan. Mungkin perjalanan berikutnya ada tips yang bisa saya tambahkan namun sepertinya poin-poin diatas sudah cukup untuk mengatasi kegalauan rencana membawa sepeda lipat naik kereta ekonomi.
Sampai ketemu di perjalanan selanjutnya.