Tanah Lahirnya Anak Matahari
" Lahirnya anak MatahariMenyembunyikan sinar di lempit alam"
Itu tidak lepas dari fenomena bahwa lapangan semakin hari semakin terlupakan dari perhatian. Berapa dari kita yg pernah menghabiskan masa kecil di lapangan? jawabnya tentu jutaan, terlepas dari apa yg kita sebut lapangan itu terkadang cuma sekedar tanah luas, belum terbangun apa2/lapang dan terbuka bagi siapa saja.
Teringat makian orang tua manakala melihat anak2 bertingkah aktif yg memerlukan ruang gerak luas, seperti main bola, kejar2an, , makian itu khas " kono nang lapangan". Memangnya kita punya lapangan? pastilah yg suka memaki demikian sisa2 orang jadul seperti saya.
Bermain sepakbola di jalan raya , lomba agustusan di jalan raya, panggung tujuh belasan di jalan raya, maen mercon di tengah jalan, hal2 contoh tersebut adalah gambaran umum saat ini betapa jalan ternyata semakin aneka guna , juga semakin padat hiburan. Hiburan yg diiringi sumpah serapah tetangga sekitar
Lapangan yg tidak seberapa , namun dibutuhkan itu berangsur2 telah habis dari pemukiman dan dari benak penduduk pada kenyataannya
Penelusuran ini juga menyadarkan saya, bahwa masa kecil yg terselamatkan adalah yg pernah bermain di lapangan. Entah itu main bola, gobang sodor, bektor, neker/gundu/kelereng, engklek diantara panas sengat matahari, dan sesekali hujan deras berpetir menggelegar. Tubuh kecil bermandi keringat itu akan semakin sehat ditempa cahaya matahari. Hembusan angin yg menyapu dari pucuk rumput hingga sudut lapangan, mampu menjadikan rohani yg bersih, mengusir penat belajar. Kulit coklat legam sudah garis bangsa kita, bukan suatu alasan utk menghalangi tunas2 muda utk mengibarkan layangannya setinggi mungkin. Yg diperlukan hanya sebuah tempat yg lapang, kesempatan yg diijinkan, dimana mereka bisa bergerak bebas sesuka hati, berteriak sekerasnya, menendang kesana kemari, berlari secepatnya. Dipinggiran para orangtua cukup mengawasi saja, memberi semangat, membiarkan buah hatinya menumpahkan hasrat dalam perkembangannya, memanggilnya pulang manakala tiba waktu bermain tlah usai. Itulah arti sebuah lapangan bagi saya, sebuah gambaran kecil sebagai tanah lahirnya anak matahari.
Sebuah lapangan kecil di jalan taman liman pada foto di atas menggambarkan semakin kecilnya arti sebuah lapangan jaman kini. Meski lebarnya tidak seberapa , cukup bermain voli atau bulutangkis, namun tidak terurus dan hampir teracuhkan. Bagi anak2 kecil di perkampungan padat tentulah begitu berarti,sebuah ruang terbuka khusus kosong dan lapang
Memakai sepeda, saya berkesempatan melihat hal2 kecil yg luput dari perhatian, salah satunya coret2 di dinding dekat museum Brawijaya ini. Pastilah karena berlokasi di ijen, harapan si pembuat coret2 ini adalah bisa di baca khalayak ramai, utamanya orang penting di kota ini yg sering mampir CFD
Para pecinta skateboard ini juga terbanyak berlatih di jalan raya , tentulah mereka membutuhkan 'space' tersendiri utk hobinya daripada terus berpindah tempat mencari area latihan
Salah satu yg paling lekat dgn kenangan saya, lapangan Amprong. Anak kampung saya pernah beradu sepakbola dgn kampung sebelah, saking sama2 tidak mutu permainannya sampai gontok2an atau tawuran. Dari kampung saya jaraknya sekitar 2km, namun semasa kecil serasa lapangan ini tidak ada apa2nya kalo cuma ditempuh dgn jalan kaki. Paling asyik , seusai bermain bola atau apalah, terus berteduh di bawah pohon di pinggirannya, adem dan ayem.
Saat musim layangan, lapangan ini bisa penuh tumplek blek
Saat melewati jalan Andalas, pemandangan ini menggugah benak saya. Sungai itu airnya tidak jernih, sedemikian hitam lumut dan baunya minta ampun. Cukup menjijikkan utk ukuran orang dewasa spt saya. Namun anak2 ini bermain tanpa beban, riang saja adanya, seolah sungai itu adalah surga. Yakin kelak mereka akan merindukan masa2 seperti ini
Jika saja sungai2 di kota ini diurus dgn baik, pastilah semakin bernilai setiap debit kenangan yg berurusan dengannya.
Tanah kita ini masih merupakan rumah terbaik bagi lahirnya anak matahari, tunas bangsa. Tanah eropa tidak akan ada apa2nya di banding milik kita , seandainya saja masih ada kepedulian pada setiap jengkal keseimbangannya, kepedulian juga pada setiap insannya.
Sebagai penutup dari cerita di balik penelusuran ini adalah kesenangan saya bersepeda pagi hari di bulan puasa ini. Pagi terasa lebih sejuk, jalan lebih sepi dari biasanya, karena byk yg memilih mendengkur di rumah. Saya bisa berkendara santai, pikiran rileks, dan melihat pengendara lain sebagian besar juga tidak ugal2an. Aduhai kesempatan yg berharga yg sayang dilewatkan, karena jika sedikit siang bakal beradu dgn pasukan penjenguk mall
Jika saja orang mau mengurangi kegiatan berkendara bermesin dgn yg bebas polutan, alias sepeda, pastilah semakin menuju arah cerah kehidupan ini
Peran kita masih ditunggu utk ikut menjaga tanah lahirnya anak matahari ini, mari bersama2
Semoga kita mampu, salam