Mengayuh Sepeda

17:24 0 Comments A+ a-

Aktualisasi diri yg saya wujudkan di komunitas bersepeda memberikan ' positive regards' atau penerimaan sosial. Banyak hal baik yg saya dapatkan berada diantara kawan, penghobi yg sejenis,
namun ada hal yg baru saya sadari kini dan cukup mengganggu dlm diri saya sendiri , yaitu 'pengakuan'.
Butuh pengakuan ini bermacam wujudnya , mulai dari pamer, gembar gembor dan ingin terlihat lebih. 
 Aduh, padahal ini sudah menyerempet dgn takabur, yg mana hal terkutuk menempel pada iblis dan membuatnya terusir. 

Berkumpul dgn komunitas membuat saya mengerti bagaimana penting part sepeda dan betapa mahal harganya . Dalih kenyamanan yg harus ditebus dgn tidak murah mewujud dalam benda2 yg ukurannya tidak seberapa. Saya harus terkaget saat mengetahui perkembangan sepeda yg dalam kenangan saya murah adanya menjadi sedemikian mahalnya skrg, sekaligus prestisius. Tidak sampai di situ, selain sepeda, bagaimana pula empunya juga perlu berdandan kostum , masa iya terlihat gembel drpd sepedanya, atau salah kostum. Ditebus pula aksesoris ini itu biar makin serasi. Rasanya saya cukup dalam merogoh dompet saat mengenang urutan kejadiannya

Kegiatan bersepeda byk pula bentuknya. Ada yg cuma muter2 ga jelas , menyusuri persawahan, menapak pegunungan,  blusukan alas, sampai yg ekstrim menuruni bukit terjal dan bebatuan. Maka yg inipun perlu penyesuaian dgn kondisi medan, dgn sepeda yg sesuai pula. Memiliki sepeda dgn part mumpuni, masa iya mau terlihat cupu saat mengendarainya, sayapun menggenjot latihan teknik2 yg rumit . Semakin hebatlah diri saya dalam pandangan saya sendiri.  Harga dan kenyataan yg tidak murah ini mungkin mendorong sebagian orang, termasuk saya sendiri mulai merasa 'wah' dan  pamer saat mulai tenggelam di dalamnya.  Keinginan utk diterima dlm suatu komunitas jg membuat saya berlebihan bertindak itung2 pengorbanan dan menenggelamkan akal. Semakin tinggi capaian , membuat saya meremehkan yg di bawah2 saya.  Merasa hebat sambil merendahkan yg lain, hanyalah membuat hati semakin tidak tenang, hati yg tidak tenang mana bisa meperoleh kebahagiaan. Serupa dahaga namun meminum air laut.
Semakin saya byk pamer pula , semakin saya merasa sedang menjalin persaudaraan dgn iblis,  sedangkan iblis tujuan utamanya menarik kaum saya bersama2 ke neraka jahanam.

Akhirnya saya mulai mencari2 kembali nilai kesedehanaan yg susah ditemui itu kembali.  Kepercayaan saya akan bersepeda itu bisa murah kok seperti halnya makan bisa murah, bisa juga mahal, tergantung selera dan kantong.  Menyesuaikan dgn diri itu penting adanya. 
Dari cerita bersepeda yg saya pernah saya tulis, byk yg menyukai tulisan2 tsb. Sempat saya kesusahan memikirkan bagaimana cerita2 bersepeda saya ke depannya agar tetap disukai. Itu pula yg hampir memusnahkan kenikmatan dan kepuasaan saya bersepeda. Saya lebih memikirkan tulisan yg bagus utk cerita saya daripada bagaimana bersepeda yg bagus buat diri saya. Akhirnya saya putuskan rehat dari keramaian itu, saya takut jika  saya belum menjadi manusia yang sehat yang mampu melihat hidup secara jelas dan berarti seperti apa adanya.


Dan kini saya ingin kembali bersepeda dgn arti yg tidak muluk2, tanpa butuh pujian , tanpa pamrih. Dan pada akhirnya bebas dari pengaruh orang lain, dan sekaligus juga dapat menyukai orang lain, berempati dan bersahabat dengan siapapun meskipun terlahir dari proses yg berbeda. 
Itu keinginan saya utk utk membangun konsep diri positif dlm menghadapi dan menjalankan hidup dengan lebih baik, rileks dan fun tanpa perlu harus dibebani dgn hal2 yg seharusnya gak perlu.