Menyongsong Gunung Kelud 2019

07:22 0 Comments A+ a-

Waktu menunjukkan pukul 10.10 malam ketika saya menyalakan motor. Ransel 30 liter sudah siap di punggung berisi perlengkapan untuk sekedar 'menggembel' sejenak. Memulai perlahan dan sedikit gerimis, saya menembus kota batu di malam minggu itu. 
Nyatanya gerimis menjelma hujan lebat manakala mendekati alun - alun kota hingga pesanggrahan. Melewati songgoriti menuju klemuk , hujan mereda berganti kabut tebal.
Dengan pandangan yang tertutup kabut ditambah suasana klemuk yang sepi, membuat saya menambah kewaspadaan. Lampu depan amat susah payah menembus tebalnya kabut.
Perkiraan bahwa malam minggu akan membuat lalu lintas sekitaran jalur pujon - ngantang akan sedikit ramai dari hari biasanya ternyata meleset. Saya harus menerima kenyataan bila malam itu teramat sepi dan hanya gelap malam berhias pekatnya hutan dalam bayang pepohonan yang seolah membesar yang menemani perjalanan. 
Berpapasan kendaraan lain bisa dihitung dengan jari, malam itu nyaris saya seperti berkendara di tengah rimba belantara, dengan lampu motor sebagai satu - satunya penerang jalanan. Jalan berkelok dan minimnya penerangan menjadikan saya harus menurunkan kecepatan. Maunya sih cepat -cepat saja, apadaya situasi tidak memungkinkan.
Malam itu menjadi salah satu sensasi berkendara yang mungkin tak akan pernah saya lupakan.
Beberapa kali pula saya merasa keder dan berusaha mengusir pikiran - pikiran buruk.
Lepas sedikit dari ngantang, saya putuskan istirahat. Masjid menjadi jujugan untuk merebahkan sejenak punggung yang mulai pegal.
Saya lupa nama masjid ini, namun saya tak akan lupa bahwa takmir masjid ini begitu baik menyediakan sekedar teh dan kopi bahkan tikar untuk pesinggah yang beristirahat.
Semua bisa ambil dan melayani dirinya sendiri.
Masjid tetap dibuka dan memungkinkan untuk beribadah di dalamnya (sekaligus tidur )
Kelar menyeruput secangkir teh, saya merebahkan diri di halaman masjid beralaskan tikar.
Dua jam menjadi tidur yang tak nyenyak, badan kadung terbiasa dengan kasur yang empuk dan selimut hangat.
Saya memutuskan berkendara kembali hingga kasembon, sebelum akhirnya memilih singgah di masjid lain untuk tidur lagi ( hehehe). Menunggu subuh pikir saya berdalih.
40 menit sebelum subuh menjelang, warung pecel menjadi pilihan mengisi perut. Pasar kandangan memiliki beberapa warung yang buka sepanjang malam dan sebelum subuh.

Tidak terlalu susah menuju kelud, tinggal mengikuti jalur kandangan , menuju pare kemudian wates. Patokan saya adalah pom bensin wates, kemudian tinggal menggapai Ngancar, itulah lokasi gunung kelud berada.
Bila Malang punya Batu sebagai jalur yang ramai pesepeda di akhir minggu, maka kediri punya kelud.
Jalan menuju kelud dipenuhi aneka pesepeda. MTB hingga road bike, dari anak2 hingga emak2.
Tanjakan demi tanjakan sadis melahap para pesepeda hingga titik pos pantau registrasi.
Pagi itu pos masuk kelud amat ramai meski belum beroperasi secara penuh, maklum masih terlalu pagi.

Dari parkir motor terakhir, saya memilih 'ngesot' saja daripada menerima tawaran ojek hingga kawah.
Terlalu sayang untuk melewatkan setiap jengkal keindahan di sini dengan begitu cepat.
Makan tanjakan itu sehat selama tidak berlebihan, hehe.


Berjalan dan mengamati kelok menuju kawah , kita bisa melihat bahwa gurat gunung ini amatlah gagah.
Setiap titik yang tersebar membawa kesan kuat dan sekaligus lembut. Dalam goresan uratnya tersebar tetumbuhan hijau yang bersanding.



Sebuah terowongan yang melewati celah gunung. Hanya bisa dirasakan dengan menyewa jasa ojek gunung kelud.



Setelah mengambil posisi terbaik, saya duduk dan mulai membuka bekal. Saya ingin sedikit bisa terhanyut dan memandangi karya Tuhan yang tiada tara ini.
Sesungguhnya apa yang saya lakukan amatlah kontras dengan apa yang dilakukan pengunjung lain.
Mayoritas pengunjung lebih sibuk mengambil gambar dan mengutak atik smartphone mereka.
Dengan kemegahan dan keperkasaan serta keindahan yang senyata - nyatanya di depan mata, apa lagi yang tidak membuat pikiran seketika otomatis memuji Sang Penciptanya.
Awalnya saya cukup tenang untuk mengagumi gunung ini, sebelum keramaian sesama saya menyadarkan bahwa mungkin cuma saya satu -satunya orang yang duduk tenang, diam, dan mencoba memahami secara bathin dengan gunung ini.
Bahkan saya satu-satunya orang yang tahu bahwa di seberang dalam foto di atas, sedikit di bawah puncak ada 2 orang berdiri melambaikan bendera Indonesia.
Semuanya begitu sibuk, tenggelam dalam teknologi yang awalnya dibuat untuk membantu dan mempermudah, yang kemudian malah menjadi sebuah dunia baru sebagai pelarian.
Jasad boleh hadir, namun pikiran dan rasanya berada di tempat berbeda.






Saya adalah orang yang percaya bahwa gunung itu hidup. Dalam agama saya, ketika Kanjeng Nabi dianiaya oleh suatu kaum, sebuah gunung menawarkan diri untuk membalas perbuatan kaum tersebut dengan menimpanya. Namun tawaran tersebut ditolak, dan kanjeng Nabi memilih mendoakan untuk kebaikan generasi selanjutnya dari kaum tersebut.

Dalam beberapa adat di negeri ini, banyak sekali leluhur kita menyebut para pemegang gunung tersebut dengan nama seperti Ki ageng ... , patih ... dan sejenisnya. 
Yang mana hal tersebut menyiratkan bahwa gunung pun hidup.  Mereka berdenyut dan bergerak walau kita tak menyadarinya.

Beberapa kali kelud mengalami erupsi, terakhir 2014. Apakah itu bencana? sekitaran kelud hingga radius beberapa kilometer adalah lahan subur dan merupakan pertanian produktif. Setiap erupsi membawa kesuburan baru bagi lahan sekitarnya, di hari ini bahkan lereng terdekat kawah kelud tidak ada yang tidak hijau. Tetumbuhan bahkan merekah di antara bebatuan, dan organisme kecil mudah ditemukan.
Saya menemukan semut dan bermacam kumbang dekat kawah kelud. Hal yang tidak akan bisa saya sadari bila saya sibuk dengan gadget saya.
Dan itu kehidupan yang mengagumkan.


Ngancar, yang merupakan area terdekat kelud merupakan sentra penghasil nanas manis. Tidak hal lain yang lebih mencolok selain nanas.
Tanaman buah ini ditanam diberbagai tempat bahkan pekarangan rumah. Di perbukitan ditanaman berjajar layaknya perkebunan teh. Sedap dan amat menyenangkan dalam pandangan mata.
Kelud memang istimewa, banyak sesuatu yang mengagumkan di sini bila kita mau sedikit 'temenan' (baca : bersungguh - sungguh).
Seperti kata pepatah jawa ' temen tinemu'.
Temuilah dia seperti hendak mengunjungi kawan lama, sapalah dia sebagai salah satu ciptaan-Nya.
Dan karena dia hidup,  jadikanlah dia untuk lebih mengenal kebesaran Sang Maha Pencipta.