Memburu Mentari Gunung Tunggangan
Baiklah, banyak yang ingin saya tulis. Mulai darimana itu yang saya bingung, hehe. Karena banyak sekali hal yang ingin dituangkan yang sesuai maupun tidak sesuai tema. Kalaupun ngalor ngidul jatuhnya, setidaknya blog ini masih dipikirin pemiliknya buat 'ngecemes' (baca : bertutur).Kali ini cerita berburu mentari pagi di gunung Tunggangan.
Bukit apa gunung ya? terserahlah, saya sih menyebutnya gunung. Letaknya di kemiri - jabung.
Gunung ini terkenal diantara pecinta sepeda ekstrim, baik yang suka turunan maupun tanjakan. Selain itu , tunggangan merupakan jalur alternatif ke bromo via nongkojajar.
Jadi lokasi gunung ini sangat eksotis untuk para pencari terabasan karena berada diantara nongkojajar dan jabung.
Yang keren , ada jalur tembus yang membelah gunung ini persis di tengah.
Cepat, ringkas , ekstrim pula.
Dan kali ini saya kembali kemari lagi setelah sekian abad. Membawa badan sorangan wae. Terakhir kemari sama rombongan gowes rame2. Namun kali ini saya tidaklah membawa sepeda.
Yep, saya libur bersepeda atau gowes. Alasannya selain males, blm ada niat , sepeda sudah terlanjur dipreteli dan apa ya..
Ah iya, saya sedang dalam masa lebih suka libur bersama keluarga daripada gowes tanpa tujuan yang jelas apalagi terombang ambing. Terombang ambing pripun tho?nanti saya jelaskan.
Saat ini saya masih olahraga, yang murah meriah , tak populer tapi saya suka sekali, yaitu jalan kaki.
Setiap hari, saya memilih berjalan kaki kurang lebih 3,5 km menuju tempat kerja. menghemat biayakah? salah satunya. Tapi selain itu, ada alasan yang lebih personal. Saya benar2 butuh jalan.
Dari tahun awal saya kerja setelah lulus, sekian tahun saya tidak pernah berangkat kerja dan pulang naik motor, atau angkutan maupun omprengan. Jauh dekat ya jalan kaki, mulai jaman kerja di surabaya, jakarta, solo maupun di malang.
Pernah saat saya kerja sebulan naik motor, rasanya aneh dan badan mulai gampang pegel2.
Balik lagi kepingin jalan.
Kembali ke tunggangan. Ba'da subuh saya meluncur pakai motor. Lho tidak jalan kaki? saya ingin menikmati sinar mentari pagi saja dan saya juga butuh segera pulang untuk segera bersama anak2 di hari libur. Tenang saja, motor saya ini seminggu sekali dipakainya. (Umur 9th masih 70an kilometernya. Rekor terlama pernah 2 bulan tidak saya pakai.)
Hawa dingin musim penghujan menyambut kembalinya saya ke dusun kemiri.
Sepi dan segar.
Jalannya semakin baik walau tidak menyeluruh. Saya sampai tepat saat sinar mentari mulai menerobos pohon pinus.
Pemandangan di pucuk tunggangan amatlah molek. Tanpa harus menginap, saya sudah bisa menikmati apa yg biasanya musti dicapai para pendaki gunung.
Lokasi yang tidak terlalu populer menjadikan suasana makin asoy saya.
Setelah parkir saya putuskan utk berkeliling sekitar.
Disisi utara terlihat pedesaan di sekitar kabupaten pasuruan berikut lembah - lembahnya.
Di sisi selatan terlihat pemandangan Malang dan gunung arjuno dengan amat ciamik.
Ingatkah bila Malang dulu di jaman kolonial disebut Paris Van East Java karena pesona alam dan tata arsiktekturnya.
Namun keshahian julukan tersebut makin diragukan oleh generasi yang lahir belakangan kini. Kini kenalnya Malang kota macet, kota ruko (karena ruko yang amat masif jumlahnya tiba2 muncul makwuss) dan kota panas (jam 9 pagi sekarang seperti sudah jam 11 siang). Belumlagi banjir, duh.
Prestasi kita belakangan ini adalah tercepat menghabiskan ruang terbuka hijau dan bangunan cagar budaya.
Pada akhirnya, ya seperti kita2 ini bergeser ke pinggiran cari kesegaran, rileks, maupun wisata. Tidak cuma itu, kita ke pinggiran juga nyari kesantunan, keramahan dan keluwesan yang mulai jarang ada di tengah hiruk pikuk kota.
Tapi sepertinya tinggal tunggu waktu sebelum virus kehebohan dan kebingungan kota menular ke pinggiran yang kini mulai ikut2an heboh.
Karena sebenarnya banyak orang ke pinggiran bukan utk mencari sesuatu yang saya sebut di atas, tapi melainkan menuju pinggiran untuk EKSIS.
Maka pinggiran skrg banyak yg dibenahi utk mewadahi arus masif bernama eksis ini, bergeser dari nilai sejatinya. Maka tak heran bila kini muncul slogan belum eksis kalau belum ke semeru di kalangan anak muda
Balik ke tunggangan.
Setelah mulai muncul penuh mentarinya, saya naik lagi ke pucuk yg lebih tinggi.
Di sini lebih leluasa lagi lihat kemana2.
Kenapa tunggangan?
saya dari dulu kepingin aja mampir kesini, duduk2, keliling terus mencari tahu ada apa saja sih di pucuknya dan seperti apa pemandangannya.
Ternyata di pucuk itu bau rumput basah itu lho kok khas banget. Semacam panggilan kembali ke rumah.
Ketika hawa mulai hangat otomatis bulir2 air terangkat.
Duduk2 saja sambil bengong, lama pisan ga klayapan model begini.
Tunggangan ini cocok untuk orang -orang yg suka menikmati alam dan pedesaan tanpa kehadiran embel2 lokasi wisata.
Sengaja saya memilihnya juga karena di sini tidak terlalu dilirik ataupun terekspose.
Yang bisa dinikmati di sini juga hal2 yg simple dan mendasar/sederhana.
Keindahan alam, suasana pedesaaan dan kesegaran hawa plus warung yg jarang2.
Justru ketiadaan lokasi wisata tertentu membuat kita menikmati secara apa adanya saja, dan itu nikmat menurut saya.
Sejauh ini, sama seperti sebelum2nya. Kemanapun saya pergi ya emang saya kepingin kesana.
Salam
4 komentar
Write komentarKelihatannya seru mas...walking alone...fomo itu mungkin lebih akut pabila kita masih disuatu komunitas baik itu sepeda ataupun sejenisnya
Reply(Masih baru dikomunitas maksud saya)
Replyiya bisa mas.
Replykeren berangkat kerja jalan kaki .. kalau disepeda ada komunitas b2w .. harusnya ada komunitas W2W, saya juga senang jalan kaki kluyuran .. tapi sekarang sudah jarang .. dulu setelah pulang kerja, malam hari jalan kaki kluyuran disektaran tempat saya tinggal ... baca2 tulisan ini jadi terinspirasi lagi .. apalagi diJakarta sekarang pedestrian sudah mulai membaik .. dan ramah untuk pejalan kaki .. tapi sedikit orang yang berjalan kaki :D
Reply